Suu Kyi Temui Junta Militer

Untuk yang pertama, ikon demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi bertemu dengan pejabat senior junta militer kemarin. Pertemuan tertutup di guesthouse militer di Kota Yangon itu berlangsung lebih dari satu jam.

Itu momen kedua bagi aktivis 62 tahun tersebut meninggalkan vilanya di Yangon yang selama 12 tahun terakhir menjadi penjara bagi dia. "Hari ini (kemarin, 25 Oktober), utusan junta militer Mayjen (pur) Aung Kyi bertemu dengan Aung San Suu Kyi di guesthouse pemerintah," lapor stasiun TV pemerintah Myanmar kemarin.

Aung Kyi adalah menteri tenaga kerja Myanmar yang pada 8 Oktober lalu ditunjuk sebagai wakil junta militer untuk berunding dengan Suu Kyi. Sayangnya, hasil pertemuan tersebut tidak dipublikasikan. Media pun dilarang meliput pertemuan tertutup tersebut.

Beberapa saat setelah pertemuan berakhir, stasiun TV pemerintah menayangkan beberapa "episode" perundingan. Namun, tidak ada keterangan yang menyertai tayangan gambar-gambar "langka" tersebut.

Pasalnya, sejak ditetapkan sebagai tahanan rumah, Suu Kyi nyaris tidak pernah terlihat di layar TV. Terakhir dia meninggalkan vilanya pada 2 Oktober untuk menemui Utusan Khusus PBB Ibrahim Gambari dengan terkait bentrokan junta militer dengan biksu Myanmar bulan lalu.

Suu Kyi dilaporkan meninggalkan kediamannya yang terletak di tepi danau sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Para penduduk di sekitar vila Suu Kyi mengatakan bahwa pimpinan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) tersebut dijemput beberapa orang. "Dia lantas dibawa ke guesthouse pemerintah di ibu kota untuk bertemu utusan junta militer," kata salah seorang tetangga Suu Kyi.

Sekitar satu seperempat jam kemudian, mereka mengaku melihat Suu Kyi kembali ke vilanya. Melalui pertemuan tersebut, junta militer Myanmar berharap bisa mengangkat kembali citranya di dunia internasional. Mereka berharap, Aung Kyi yang ditunjuk atas rekomendasi Gambari bisa menjadi jembatan komunikasi junta militer dan Suu Kyi.

"Kami ingin menjalin hubungan yang mulus dengan Suu Kyi melalui Aung Kyi," papar junta dalam pernyataan mereka kemarin. Sejak militer berkuasa pada 1962, hubungan pemerintah dengan tokoh-tokoh demokrasi Myanmar menjadi semakin berjurang dan lantas terputus.

Pertemuan Aung Kyi dan Suu Kyi memang terkesan rahasia. Bahkan, sesaat sebelum nobelis perdamaian 1991 itu meninggalkan rumahnya, para pejabat NDL masih belum tahu rencana tersebut. Demikian juga diplomat-diplomat asing yang selama ini memantau perkembangan Myanmar pascakrisis.

Meskipun demikian, mereka menyambut baik pertemuan penting itu. "Berbicara dengan junta militer hanya tinggal menunggu waktu. Tapi, kami menginginkan perundingan yang tulus," ujar diplomat Barat yang merahasiakan identitasnya. (ap/afp/rtr/hep)
Sumber: Jawa Pos, 26/10/2007

selengkapnya...

Junta Militer Salahkan Bush

Berbagai tekanan dan reaksi keras dunia internasional membuat junta militer Myanmar melunak. Kemarin (25/10) junta meminta para pemimpin agama senior untuk memahami peristiwa yang mereka lakukan bulan lalu.

Sebab, tindakan tersebut benar-benar tidak bisa dielakkan. Selain itu, junta menyalahkan adanya biarawan yang menggerakkan protes massa. "Saya harap Anda bisa memahami kenyataan bahwa kejadian itu memang tidak bisa dicegah. Kami juga tidak bisa membiarkan situasi negara (dan agama Buddha) terganggu," kata Menteri Agama Brigadir Jenderal Thura Myint Maung seperti dilansir New Light of Myanmar.

Karena itu, lanjut Thura Myint Maung, pihak berwenang bereaksi keras melawan para biarawan palsu yang telah mengatur dan menghasut biarawan lain untuk melawan pemerintah. Hal tersebut berbeda dengan peristiwa pada 1988, ketika itu para biarawan dipuji lantaran aksi mereka menggerakkan 100 ribu orang di jalanan Yangon.

Akibat aksi yang mulai terjadi 25 September itu, setidaknya 13 orang, termasuk beberapa biarawan, tewas dan ribuan orang menjadi tahanan. Sekitar 100 biarawan juga ditahan. "Sebab, beberapa di antara mereka tidak bisa dibiarkan," dalihnya.

Namun, dia membantah kabar adanya beberapa biarawan yang tewas. Maung juga meminta para biarawan senior menginstruksikan kepada biarawan muda agar tidak melakukan tindakan yang bisa menyebabkan mereka dipenjara.

Presiden AS George W. Bush juga disalahkan karena dianggap memanipulasi biarawan Myanmar. "Sungguh tidak bisa diterima bahwa presiden AS turut campur sehingga menyebabkan propaganda dalam masalah ini," katanya.

Washington memang telah blak-blakan mengkritik junta militer. Selain itu, AS telah menggiring opini dunia internasional sehingga menyalahkan junta.

Di sisi lain, mediator PBB Ibrahim Gambari akan kembali ke negara tersebut pada minggu pertama November. Pada kunjungan keduanya itu, Gambari akan ditemani penasihat HAM PBB Paulo Sergio Pinheiro. (afp/dia)
Sumber: Jawa Pos, Jumat, 26 Okt 2007

selengkapnya...

Myanmar, Tamparan bagi ASEAN

Oleh Edy Prasetyono

Kejadian antidemokrasi di Myanmar benar-benar menampar ASEAN. Pada tahun 2006 militer Thailand meng-coup d’etat pemerintahan Perdana Menteri Thaksin.

Kini pemerintahan militer Myanmar melakukan aksi kekerasan terhadap demonstran dan biksu, menewaskan ratusan korban. Ini adalah aksi kekerasan politik terburuk di Myanmar dalam dua dekade terakhir.

Menggugat ASEAN


Dua peristiwa ini menggugat makna dan relevansi ASEAN. Gagasan tentang ASEAN sebagai komunitas bisa tampak amat artifisial. Bagaimana ASEAN menciptakan we feeling sebagai dasar terbentuknya komunitas jika di kalangan ASEAN masih ada perilaku rezim militer seperti di Myanmar?

Dengan kekerasan rezim seperti itu, menjadi pertanyaan "kepantasan" Myanmar sebagai bagian "kekitaan" ASEAN yang baru saja menyuarakan aspek hak asasi manusia sebagai pilar baru pembentukan komunitas. Hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab ASEAN dalam membentuk Piagam ASEAN. Slogan ASEAN yang berorientasi kepada rakyat, people-oriented ASEAN, hanya menjadi retorika jika ASEAN tidak tegas terhadap Myanmar.

Sebenarnya, Myanmar telah menantang dan tidak menghiraukan ASEAN. Rezim militer Myanmar merasa telah nyaman dengan China. Apalagi kini India mulai mendekati Myanmar karena kepentingan ekonomi dan strategis guna mengimbangi pengaruh China di Asia Tenggara.

Myanmar menjadi pongah. Bahkan, ASEAN seolah dijadikan tameng Myanmar untuk menghadapi tekanan internasional. Anehnya, ASEAN selalu menunjukkan sikap lunak dan begitu yakin bahwa Myanmar bisa dihadapi dengan pendekatan ASEAN, suatu ASEAN way, yang tidak konfrontatif dan dengan komunikasi yang konstruktif.

Padahal, tidak pernah ada dalam sejarah politik bangsa-bangsa di dunia, di mana rezim otoriter yang sudah membusuk dan beku bisa cair oleh dialog. Satu-satunya cara adalah harus ada pergantian pemerintahan. Sebaiknya ASEAN tidak banyak berharap akan perubahan politik yang demokratis dengan pendekatan seperti itu.

ASEAN perlu mengingat bagaimana rezim militer Myanmar menolak hasil pemilihan umum (pemilu) yang memenangkan Aung San Suu Kyi tahun 1990. Jika hasil pemilu mudah diabaikan, mengapa harus percaya pendekatan ASEAN way dalam menghadapi Myanmar?

Membekukan keanggotaan Myanmar dari ASEAN adalah langkah terbaik. ASEAN harus menunjukkan sikap tidak dapat menerima nilai dan aksi antidemokrasi dan HAM. Sikap keras terhadap Myanmar juga untuk menunjukkan kepada China bahwa ASEAN tidak perlu takut mengambil sikap berseberangan dengan kebijakan luar negeri China.

Jika ASEAN solid, tidak satu pun kekuatan eksternal yang berani mengambil risiko mengorbankan hubungan dengan ASEAN. Oleh karena itu, pembentukan komunitas ASEAN harus menjadi prioritas untuk menjadikan ASEAN mempunyai kekuatan tawar yang kuat, termasuk dalam mengambil langkah keras dalam masalah Myanmar.

Peran Indonesia

Dalam sejarah ASEAN, Indonesia sering menempatkan diri sebagai negara terdepan untuk mengambil inisiatif dan risiko. Langkah keras terhadap Myanmar harus ditunjukkan. Indonesia tidak hanya negara terbesar yang mempunyai bobot politik dan strategis kuat di kawasan, tetapi juga menjadi model bagaimana negara berkembang telah menempuh demokratisasi.

Prestasi terbesar Indonesia adalah kemenangan demokrasi dalam masyarakat plural. Dalam aspek ini, kita tetap menegakkan kepala di hadapan bangsa lain. Sikap lunak terhadap Myanmar bisa menumbuhkan kembali virus-virus antidemokrasi di sebagian negara ASEAN yang belum sepenuhnya bebas dari ancaman kekerasan penguasa.

Menunjukkan sikap mendukung demokrasi di Myanmar adalah kepentingan strategis Indonesia untuk menegaskan komitmennya pada aspek kerja sama politik dalam pembentukan komunitas keamanan ASEAN atas dasar demokrasi dan HAM. ASEAN tidak mungkin bersandar pada Singapura, Malaysia, Thailand, atau Filipina untuk memperjuangkan dua hal ini. Indonesia harus memegang kunci saat muncul situasi ekstrem yang memerlukan ketegasan bersikap. Semua ini adalah pertaruhan kredibilitas ASEAN.
Edy Prasetyono Peneliti Senior pada Departemen Hubungan Internasional CSIS, Jakarta
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2007

selengkapnya...

Junta Militer Cabut Jam Malam

Perusahaan Singapura Dimasukkan Daftar Hitam AS

Junta militer Myanmar mencabut jam malam dan mengakhiri larangan berkumpul di Yangon. Pencabutan jam malam dilakukan sehari setelah AS mengumumkan sanksi baru terhadap junta.

Pencabutan jam malam dan larangan berkumpul diumumkan melalui pengeras suara dari kendaraan pemerintah yang berkeliling di jalan-jalan kota Yangon, Sabtu (20/10). "Jam malam dan larangan berkumpul telah dicabut secara resmi hari ini karena keamanan dan stabilitas membaik," sebut pengumuman itu.

Jam malam diberlakukan di sejumlah kota besar di Myanmar pada 25 September menyusul protes besar-besaran menentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Pekan lalu, junta mengurangi jam malam, yang semula mulai pukul 18.00 hingga pukul 06.00 menjadi pukul 23.00 hingga pukul 03.00.

Pencabutan jam malam dan larangan berkumpul lebih dari lima orang mengindikasikan bahwa junta yakin telah mengalahkan demonstrasi terbesar melawan mereka. Protes terbesar dalam 20 tahun terakhir di Myanmar pecah September lalu saat junta menaikkan harga BBM hingga 500 persen. Militer mengambil tindakan keras dengan menembaki dan menangkapi pemrotes.

Sejak bertindak brutal terhadap pemrotes, junta mulai bertindak lebih lunak. Tentara mulai dibersihkan dari jalanan kota Yangon walaupun beberapa aparat berpakaian preman masih berjaga-jaga di beberapa ruas jalan, Minggu (21/10).

Warga Yangon merasa lega dengan pencabutan jam malam. Namun, mereka masih takut jika junta kembali bertindak represif. Mereka juga merasa kehidupan belum kembali normal.

"Kami masih khawatir dengan situasi di Yangon karena apa yang terjadi bulan lalu," kata seorang pegawai di Yangon.

Di bawah gencarnya tekanan internasional, junta mulai melonggarkan represi. Beberapa tahanan politik, di antaranya komedian dan aktor, telah dilepaskan. Seorang anggota partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) berusia 82 tahun juga telah dilepaskan.

Akses internet juga sudah dibuka kembali setelah diputus untuk mencegah menyebarnya foto atau video tentang aksi brutal junta. Namun, militer masih menutup akses terhadap media asing.

Junta, Sabtu, mengeluarkan permintaan melalui media milik pemerintah, yang tidak lazim dilakukan junta, kepada pemimpin NLD Aung San Suu Kyi untuk berkompromi dan berbicara dengan junta.

Di Washington, Gedung Putih mencela langkah yang diambil junta dan menyebutnya hanya "kosmetik". "Yang diperlukan adalah sinyal keseriusan untuk melangkah menuju transisi demokrasi," kata Dana Perino, sekretaris pers kepresidenan.

"Pencabutan jam malam itu bukanlah pertanda baik, justru pertanda buruk karena junta saat ini merasa yakin telah membersihkan wihara dari pengacau, baik dengan mengirim mereka ke penjara atau ke kampung halaman mereka," kata Perino.

Daftar hitam

Sebagai langkah lanjutan untuk menekan Myanmar, AS telah memasukkan tujuh organisasi yang terkait junta dalam daftar hitam. Tiga perusahaan yang berbasis di Singapura termasuk dalam daftar tersebut, yaitu Pavo Trading Pte Ltd, Air Bagan Holdings Pte Ltd, dan Htoo Wood Products Pte Ltd.

Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo mengatakan, sebenarnya negara-negara tetangga Myanmar hanya memiliki pengaruh ekonomi terbatas terhadap junta. "Kami di ASEAN hanya memiliki pengaruh ekonomi terbatas, tetapi kami memiliki pengaruh moral tertentu karena Myanmar adalah bagian dari keluarga ASEAN," kata Yeo dalam pidato yang dimuat di situs Kementerian Luar Negeri Singapura.

Yeo mengatakan tidak tahu tentang detail sanksi AS yang diperkirakan bisa menghantam perusahaan di Singapura tersebut. "Bisa saja ada beberapa perusahaan terdaftar di Singapura, kemudian akan dikenai larangan tertentu dari AS," ujarnya.

Saat ini Singapura menjabat ketua ASEAN. Singapura juga banyak melontarkan kritik terhadap junta atas tindakan brutal menghadapi aksi protes.

Namun, Singapura membantah tuduhan bahwa pemerintahnya memperbolehkan bank-bank yang berbasis di Singapura untuk melindungi dana gelap atas nama pejabat-pejabat junta Myanmar. (ap/afp/reuters/fro)
Sumber: Kompas, Senin, 22 Oktober 2007

selengkapnya...

Dialog Junta-Suu Kyi Tetap Sulit Terwujud

Militer Tetap Ajukan Syarat

Niat junta militer Myanmar untuk menghelat pertemuan dengan pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi sepertinya isapan jempol belaka. Lewat media pemerintah New Light of Myanmar, junta tetap mengajukan syarat agar pertemuan itu bisa berlangsung.

Syarat terbaru mereka adalah Suu Kyi tidak mendukung sanksi yang dijatuhkan negara lain kepada Myanmar. "Seiring tawaran resmi pemerintah, sekarang waktu Anda (Suu Kyi, Red) untuk bertindak," tulis harian corong pemerintah itu.

Harian tersebut mengungkapkan bahwa dialog memerlukan pengorbanan, termasuk dari Suu Kyi. "Anda harus memahami tindakan natural untuk menyerahkan sesuatu demi mendapatkan ganti yang sepuluh kali lebih bernilai dan bermanfaat," tambah media yang dianggap sebagai alat propaganda pemerintah tersebut.

Ditambahkan, pemimpin junta Jenderal Senior Than Shwe kembali menawarkan pembicaraan dengan Suu Kyi. Catatannya, Suu Kyi menolak segala bentuk konfrontasi, sanksi perekonomian, dan sanksi lain kepada Myanmar.

Sementara itu, warga Yangon menyambut hangat berakhirnya jam malam yang diberlakukan junta. Mereka merasa lega karena peraturan jam malam yang berlaku mulai 23.00-03.00 itu berakhir.

Tetapi, warga yakin, hidup dan perasaan mereka belum kembali normal. "Orang sangat senang dengan berakhirnya jam malam. Kami bebas sekarang. Namun, kami, termasuk saya, tetap cemas pada situasi itu," jelas seorang warga berusia 30 tahun.

Seorang ibu rumah tangga berusia 55 tahun mengaku sangat senang peraturan itu diakhiri. Tetapi, dia memutuskan tetap menjauh dari Pagoda Shwedagon yang menjadi pusat demonstrasi berdarah bulan lalu. "Saya ingin pergi ke Pagoda Shwedagon, namun saya tidak ingin ke sana saat ini. Saya terlalu takut," tambahnya.

Meski otoritas sudah mengurangi dengan drastis penjagaan militer di beberapa pagoda, beberapa petugas berpakaian preman masih berjaga.

Hal tersebut membuat warga masih diliputi ketakutan. "Anak lelaki saya sangat senang karena dia bisa pergi ke rumah temannya saat malam. Namun, saya masih takut dengan situasinya. Jadi, saya minta anak-anak tidak berada di luar rumah terlalu lama," kata ibu berusia 41 tahun.

Saat jam malam berlaku, bisnis di Yangon tutup lebih cepat. Padahal, biasanya setiap malam aktivitas belum berhenti. Khususnya di kedai-kedai teh dan kopi.

Salah seorang pemilik toko teh berharap agar bisnis dan konsumennya kembali setelah jam malam dihapus. "Bisnis saya merana saat jam malam. Sebab, saya harus menutup toko pukul 21.00. Namun, di atas semua itu, pengunjung saya menurun drastis," kata lelaki 50 tahun itu.

Kedai minum teh menjadi tujuan populer untuk bersantai di Myanmar. Sebagai salah satu negara termiskin di dunia, kedai tersebut menjadi hiburan bagi mereka yang tidak bisa makan di restoran. "Saya harap, konsumen segera berkunjung. Saya ingin bisnis kembali seperti semula," sambungnya.

Namun, meski jam malam sudah dihapus, pemerintah masih menutup jaringan internet. Tindakan itu menghindari tersebarnya gambar dan informasi dari bentrokan tersebar ke seluruh dunia.

Akses internet memang membaik, tetapi hanya sesaat. Junta masih melarang media asing, termasuk BBC dan Voice of America, serta perwakilan berita untuk beroperasi. (ap/afp/tia)
Sumber: Jawa Pos, Senin, 22 Okt 2007

selengkapnya...

Pengungsi Burma Butuh Bantuan Dunia

Liputan Khusus GANNA PRYADHARIZAL dari Bangkok

Dewan Penasihat Karen Refugee Committee (KRC) di kamp pengungsi Myanmar Mae La Mahn Stila meminta masyarakat internasional memberi perhatian lebih kepada para pengungsi Myanmar, kemarin.

”Yang diharapkan para pengungsi adalah dukungan dan bantuan dari komunitas internasional, terutama pangan dan fasilitas kesehatan,” tandas Stila yang menghuni kamp Mae La beserta istri dan kelima anaknya. ”Kemudian kita juga menginginkan pendirian pendidikan tinggi di kamp-kamp pengungsian untuk warga Karen yang telah menyelesaikan pendidikan menengah di kamp,” lanjutnya.

Di kamp pengungsian saat ini telah terdapat sekolah dari jenjang pendidikan dasar dan menengah yang didirikan berkat bantuan lembaga kemanusiaan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Mae La merupakan salah satu kamp pengungsi terbesar yang ada di sepanjang perbatasan Thailand–Myanmar.

”Terdapat 50.000 lebih pengungsi Myanmar di kamp Mae La. Mayoritas berasal dari etnis Karen,” ujar Stila yang mengungsi dari Myanmar pada 1999. Mayoritas pengungsi berasal dari etnis Karen. Mereka menjadi target operasi junta militer karena dianggap sebagai warga pembangkang. Etnis terbesar di Myanmar ini menuntut sebuah otonomi politik regional.

”Tuntutan negara federal ini justru dibalas junta dengan tindakan brutal. Maka, peperangan antara Karen Nation Union (KNU) dan militer junta pun tak terhindarkan,” terang Stila. Penghuni kamp Mae La lainnya, Zaw Min, mengatakan, peperangan masih berlanjut di Karen State.

Bahkan konflik ini meluas ke seluruh provinsi yang ada di Myanmar karena hampir seluruh etnis –semisal Palaung, Shan, Chin dan Arakan– menuntut hal yang sama. ”Jelas, Than Shwe menjadi musuh bersama di Myanmar,” kata Zaw Min yang merupakan cucu dari Stila. Sementara Ketua DPR Agung Laksono mengungkapkan, parlemen Indonesia berhasil mengegolkan usulan mengenai masalah Myanmar sebagai resolusi dalam sidang ke-117 Inter- Parlementary Union (IPU) di kawasan Jenewa, Swiss.

Menurut dia, usulan tentang Myanmar menjadi salah satu emergency item yang dijadikan usulan resolusi dalam forum tersebut. Usulan Indonesia tentang Myanmar diterima sebagai resolusi tambahan. Menurut Agung, hal itu penting untuk mengatasi maslah di negara tersebut. ”Agar kekerasan tidak ada lagi, demokrasi ditegakkan dan para aktivis serta Madam Aung San Suu Kyi dibebaskan,” ujarnya. (dian widiyanarko)
Sumber: Seputar Indonesia, 11/10/2007

selengkapnya...

Janji Dialog Omong Kosong

Suu Kyi Belum Terima Ajakan Junta Militer

Niat junta militer Myanmar untuk berdialog dengan tokoh prodemokrasi Aung San Suu Kyi, ternyata, omong kosong belaka. Dalam pernyataan yang keluar Rabu (10/10), Suu Kyi mengaku belum mendapat undangan tersebut, meski otoritas sudah menunjuk utusannya.

Di bawah tekanan PBB setelah bentrok militer melawan demonstran anti-pemerintah, junta menunjuk Jenderal muda Aung Kyi. Dia dikenal sebagai jenderal moderat yang diharapkan bisa mengoordinasikan diskusi dengan pemenang Piala Nobel itu.

Namun, juru bicara Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NDL) Suu Kyi menyatakan bahwa Aung Kyi belum melakukan kontak sama sekali. "Otoritas sudah melihat kebutuhan akan proses dialog dengan menunjuk pejabat mereka. Namun, masih terlalu dini untuk menyambut utusan tersebut (Aung Kyi, Red) karena kami belum tahu apa yang akan dilakukannya dan kapan dialog tersebut bisa dimulai," kata Nyan Win.

Pada saat yang sama, militer masih terus melakukan penangkapan. Bahkan, salah seorang anggota partai Suu Kyi dikabarkan tewas saat diinterogasi di kawasan tengah Myanmar, Sagaing. Aktivis malang bernama Win Shwe, 42, itu ditangkap bersama lima rekannya 26 September.

Otoritas menginformasikan kepada keluarga Win Shwe bahwa anak lelaki mereka meninggal dan mayatnya sudah dikremasi di pusat penahanan. Asosiasi Pendampingan untuk Tahanan Politik (AAPP), organisasi yang dibentuk mantan tahanan politik, mengatakan, setidaknya lima orang lagi ditahan di Yangon dalam dua hari terakhir.

Win Shwe merupakan salah seorang pemimpin aksi demo. AAPP mengatakan, militer mengancam keluarga dan tetangga demonstran yang tertangkap demi mendapatkan informasi mengenai orang-orang yang terlibat dalam demo tersebut. "Pasukan keamanan semakin sering memasuki rumah sipil dan mencari orang yang mereka curigai terlibat dalam aksi protes kepada pemerintah," kata AAPP.

Juru Bicara Urusan Luar Negeri Amerika Serikat Gordon Johndroe mengutuk kematian Win Shwe dan mengingatkan bahwa AS bisa memberlakukan sanksi baru melawan Myanmar bila mereka terus melakukan aksi kekerasan.(ap/afp/bbc/tia)
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 11 Okt 2007

selengkapnya...

Lee Sebut Jenderal Junta Bodoh

Pernah Sarankan Than Shwe Tiru Soeharto

Singapura memaksimalkan peran sebagai pemimpin negara ASEAN untuk terus menekan junta militer Myanmar. Setelah wakilnya di PBB mendesak adanya sanksi bagi pemerintahan militer Myanmar, kemarin giliran Menteri Mentor Singapura Lee Kuan Yew mengecam keras pucuk pimpinan junta, Jenderal Than Shwe.

Sebagaimana dilaporkan harian The Straits Times kemarin (10/10), bapak pendiri Singapura itu menyatakan, para pimpinan junta militer yang berkuasa 45 tahun tersebut terdiri atas para jenderal bodoh. "Mereka gagal memaksimalkan potensi ekonomi Myanmar. Padahal, negara itu diberkahi sumber daya alam luar biasa," ujar Lee, panggilan akrab Lee Kuan Yew, saat wawancara dengan kelompok kolumnis AS di kantornya.

Kegagalan kelompok jenderal mengembangkan potensi Myanmar itu, kata dia, akan membuat mereka tidak akan bertahan lama.

Lee menyebutkan, dirinya pernah memiliki hubungan baik dengan salah satu tangan kanan Than Shwe, yaitu Jenderal Khin Nyunt. "Dia adalah jenderal yang paling pintar dibandingkan lainnya. Saya sering bertukar ide dengan dia. Saya pernah mengatakan kepada dia agar para junta Myanmar meniru Soeharto (mantan presiden RI, Red)," ungkapnya.

Lee menjelaskan kepada Khin Nyunt, Soeharto sukses melepas citra militer, lalu membentuk sebuah partai besar bernama Golkar dan sukses memerintah dengan citra sebagai pemimpin dari partai sipil. "Sayangnya, di tengah jalan, Soeharto jatuh. Jadilah saran saya untuk Khin Nyunt, yang kemudian disampaikan kepada Than Shwe, dianggap sebagai nasihat yang menyesatkan," jelas mantan PM Singapura tersebut.

Akibatnya, Khin Nyunt ditangkap. Seluruh jabatannya dilucuti dan akhirnya dikenai tahanan rumah.

Meski mengecam junta militer, Lee menegaskan, upaya solusi atas krisis Myanmar harus melibatkan mereka. "Tentara harus menjadi bagian dari solusi atas Myanmar. Mereka mengontrol semua lini. Meninggalkan mereka berarti bersiap dengan solusi tanpa hasil," tegasnya.

Dia menceritakan, dirinya pernah merekomendasikan beberapa pengusaha untuk menanamkan modal di Myanmar beberapa tahun lalu. "Namun, saya menyesali rekomendasi saya. Sebab, setelah mereka menanamkan modal jutaan dolar di sektor perhotelan, kini yang mereka dapat hanya hotel yang melompong," ujarnya.

Dari Yagon, Myanmar, dilaporkan, Junta militer Myanmar mulai membuka pintu negosiasi dengan para biksu. Merespons sinyal positif itu, sejak Selasa lalu (9 Oktober), para biksu di Myanmar sepakat menghentikan aksi untuk berdialog dengan pemerintah di Naypidaw, ibu kota Myanmar.

Perwakilan biksu dipimpin U Yarzadana dari Yangon. Sedangkan junta militer diwakili Kolonel Than Shin, sekretaris pemerintahan. Pemerintah menjanjikan, setelah ada kesepakatan dengan para biksu, akan dilakukan juga dialog dengan tokoh demokrasi di Myanmar Aung San Syuu Kyi.

Pemimpin biksu di Mandalay U Wesaikta mengatakan, saat ini pihaknya menghentikan unjuk rasa di Mandalay sambil menunggu hasil negosiasi. "Kami beri deadline sampai Minggu 14 Oktober," kata U Wesaikta kepada Jawa Pos saat ditemui di wiharanya di Mandalay kemarin.

Di Mandalay, kota terbesar kedua setelah Yangon, pasca tertembaknya wartawan Jepang Kenji Nagai terus terjadi unjuk rasa. Setiap hari ratusan biksu di Mandalay berkumpul di Pagoda Maha Myat Muni, pagoda terbesar di Mandalay. Mereka juga berkeliling kota sambil membalik kuali atau mangkuk sebagai symbol menolak donasi dari pemerintah.

Tentara di Mandalay juga tidak kasar seperti di Yangon. Tetapi, wilayahnya dibatasi hanya di dalam kota Mandalay. Para biksu dilarang keluar dari kota Mandalay. Gerbang Mandalay dijaga ketat oleh tentara.

Pemerintah, tampaknya, sengaja memberikan angin kepada para biksu untuk bisa mengajak dialog. "Kalau 14 Oktober tidak ada kesepakatan, kami akan turun lagi ke jalan," ujar biksu berusia 50 tahun itu.

Saat ini, meski menyatakan jeda unjuk rasa, para biksu tetap melakukan aksi menolak donasi dari pemerintah. Setiap melalui kantor milik pemerintah, para biksu dan biksuni di Mandalay membalik mangkuk. Itu sebagai tanda bahwa mereka tidak menerima donasi dari kantor tersebut. Mereka juga menolak pemberian makanan, minuman, dan pakaian dari pemerintah.

Ada tiga tuntutan para biksu kepada pemerintah. Yaitu, pembebasan para biksu, penurunan harga, dan penegakan demokrasi. "Jika tiga tuntutan itu ditolak, kami akan turun lagi," katanya,

Perkembangan sementara, negosiasi berjalan alot. Para biksu ngotot pada tuntutannya. Namun, pemerintah menganggap tuntutan biksu berlebihan dan sudah mengarah pada gerakan politik. Pemerintah meminta para biksu sabar menunggu demokrasi di Myanmar.

Beberapa kali pemerintah mengumumkan ke publik melalui selebaran dan televisi bahwa pemerintah dan rakyat Myanmar sama-sama ingin membangun sendiri demokrasi baru di Myanmar tanpa campur tangan asing. Karena itu, fondasi demokrasi harus ditata terlebih dahulu.

Pemerintah juga meminta para biksu tidak memberikan dukungan kepada Aung San Syuu Kyi. Than Shwe menuduh Aung San Syuu Kyi adalah agen asing yang akan membawa kepentingan asing masuk Myanmar. Almarhum suami Aung San Syuu Kyi yang berkebangsaan Inggris dijadikan bukti tuduhan tersebut.

Junta militer, tampaknya, juga ingin mencari pembenaran bahwa Barat bermain di balik kekacauan di Myanmar. Biksu-biksu di Myanmar menceritakan, saat demo 27 September yang berujung kerusuhan, yang diperintah menembak adalah tentara dari Kachin, salah satu state di Myanmar.

"Saya melihat simbol di lengan tentara itu bukan tentara nasional. Mereka adalah tentara Kachin. Tentara dari Myanmar bagian utara itu beragama Kristen," kata salah seorang biksu di Yangon yang tidak mau disebut namanya dengan alasan keamanan.

Dengan menyuruh tentara Kachin menembak biksu, diharapkan muncul kesan ada kekuatan internasional -dalam hal ini Barat- yang menyokong penembakan biksu. Isunya sengaja dibawa menyerempet isu agama. "Tapi, kami tidak percaya. Tidak mungkin tentara Myanmar berani bertindak sendiri tanpa perintah Than Shwe," ujarnya.

Di Myanmar ada tujuh negara bagian (states), yaitu Chin, Kachin, Kyah, Kayin, Mon, Rahkine, dan Shan. Masing-masing memiliki tentara, namun di bawah koordinasi tentara nasional. Saat unjuk rasa biksu, tentara dari luar Yangon didatangkan.

Usaha lain pemerintah untuk memecah belah biksu adalah mereka menyebar biksu palsu ke Yangon dan Mandalay. "Anda jangan berbicara dengan sembarang biksu. Bisa jadi itu biksu palsu," kata U Wesaikta.

Biksu-biksu palsu itu disebar di pagoda-pagoda untuk mengesankan kegiatan para biksu berjalan normal seperti biasa. Dengan begitu, orang kembali mau berkunjung ke pagoda.

Para biksu di Mandalay saat ini menunggu berita dari Naypidaw. Mereka sudah siap untuk turun ke jalan secara besar-besaran seandainya perundingan gagal. Aksi unjuk rasa akan disiapkan di Mandalay dan Yangon.

Pihak pemerintah juga tidak kalah gesit. Pemerintah telah menyiapkan aksi projunta secara besar-besaran di Yangon pada Sabtu 13 Oktober 2007. Sejumlah kantor dan organisasi di Yangon sudah dihubungi pemerintah untuk menyiapkan diri mengikuti rapat akbar mendukung pemerintahan Than Shwe.

Seminggu terakhir, pemerintah giat menggelar aksi tandingan para biksu di berbagai kota. Di antaranya di Kachin, Myingyan, Pyawbe Township, Taunghta, Kanbalu, Shwebo, dan Yamethin. Pegawai negeri diwajibkan ikut dalam aksi tersebut. Mereka membawa poster bertulisan Beware of rumors of BBC and VOA, RFA Setting up hostilities, We don’t want provocation of foreign countries dan we don’t accept neo colonialism.

Tayangan unjuk rasa projunta itu diulang-ulang di stasiun TV Myanmar MRTV. Sehari bisa disiarkan ulang hingga lima kali. Selain itu, pemerintah melalui koran dan televisi lokal juga mengimbau para wartawan asing yang masih berada di Myanmar segera meninggalkan negara tersebut.(afp/*)
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 11 Okt 2007

selengkapnya...

Aksi Solidaritas untuk Myanmar

Gelombang protes terhadap aksi kekerasan yang dilakukan junta militer Myanmar terus bergulir. Kemarin, ratusan massa dari beberapa elemen Kristen dan Buddha menggelar aksi damai di Surabaya.

Aksi bertajuk Solidaritas dan Kasih untuk Myanmar itu diikuti Partai Damai Sejahtera (PDS), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Surabaya dan Jawa Timur, Asosiasi Pendeta Indonesia (API) Jawa Timur, Pemuda Katholik Jawa Timur, Persekutuan Warga Kristen (PWK) Wilayah 8 Surabaya, dan Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Surabaya.

Sekitar 100 orang memulai aksinya dengan berjalan mundur dari pertigaan Jalan HR Muhammad menuju Vihara Budhayana di Jalan Putat Gede. Selain berjalan mundur, mereka juga memlester mulut dengan lakban hitam. "Ini simbol matinya demokrasi di Myanmar. Apa pun alasannya, kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah," kata Daniel Lukas Rorong, koordinator aksi.

Para peserta aksi juga mengenakan pita merah sebagai bentuk keprihatinan terhadap kekerasan yang dilakukan junta militer Myanmar terhadap para biksu dan warga sipil. "Warna merah melambangkan dukungan atas keberanian luar biasa yang diperlihatkan rakyat Myanmar," lanjut Daniel.

Selain mendesak junta militer Myanmar menghentikan aksi kekerasan terhadap warga sipil, mereka juga berharap agar pemerintah Myanmar memulai perundingan dengan peraih nobel perdamaian Aung San Suu Kyi. "Sebagai sesama umat beragama, saya merasa perlu mengingatkan mereka (pemerintah Myanmar, Red) agar menghormati kemanusiaan," tegas Ketua PDS Surabaya Simon Lekatompessy dalam orasinya.

Selanjutnya, perwakilan dari massa juga membacakan naskah keprihatinan yang berisikan kecaman aksi brutal junta militer yang telah menewaskan sembilan orang dan melukai para biksu serta masyarakat sipil di Myanmar. "Naskah keprihatinan itu nantinya akan kami kirimkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Daniel.

Usai membacakan naskah itu, perwakilan aksi menyerahkan petisi yang berisi kutukan terhadap kekejaman junta militer di Myanmar kepada Bikhu Vijananda Thera sebagai perwakilan umat Buddha di Surabaya. Lalu, aksi solidaritas itupun diakhiri dengan pelepasan 15 ekor burung merpati putih sebagai tanda perdamaian oleh perwakilan elemen Kristen beserta dua biksu dari Wihara Buddhayana.

Sementara itu, Bikhu Vijananda Thera mengutuk keras tragedi di Myanmar. Selain itu dia juga berdoa agar para pendeta dan bikhu di sana diberikan kekuatan untuk terus melakukan perjuangan bersama rakyat.

"Kekerasan yang terjadi di Myanmar sudah sangat melanggar hak azazi. Sebab, saat ini junta militer tidak hanya melakukan kekerasan terhadap rakyat maupun pendeta, tetapi juga melarang orang melakukan sembahyang di vihara-vihara," tambahnya. (zul)
Sumber: Jawa Pos, 10/10/2007

selengkapnya...

Junta Tahan Lima Jenderal dan 400 Tentara

Tolak Perintah Tangkap Biksu

Tidak seluruh tentara Myanmar menuruti mentah-mentah perintah pemimpin junta militer. Seorang pejabat pemerintah yang ditemui Jawa Pos di Provinsi Shan, Myanmar, kemarin mengungkapkan, setidaknya ada lima jenderal dan 400 tentara yang ditahan oleh junta militer.

"Hal tersebut terjadi pekan lalu," ujar sumber yang menolak disebutkan namanya karena takut keamanannya terancam. Dia bercerita bahwa para jenderal dan ratusan tentara tersebut ditahan karena menolak perintah untuk menembak biksu. "Saat itu, mereka ditugasi menumpas demonstrasi di Sikai Division (dekat Mandalay, Red)," lanjutnya.

Pejabat tersebut bercerita, ketika berhadapan dengan sekitar 500 biksu, tiba-tiba saja para tentara tersebut meletakkan senjata, kemudian duduk bersimpuh menyembah para biksu tersebut. Tentu saja, junta tidak menoleransi kejadian tersebut. "Semua langsung ditahan. Namun, saya tidak tahu lokasi penahanan mereka. Semua serbarahasia. Saya mendapatkan kabar tersebut dari atasan saya," ucapnya.

Masih menurut pejabat tersebut, biksu tetap merupakan sebuah entitas yang sangat dihormati di Myanmar. "Kalau sudah menembak biksu, berarti tentara sudah tidak menghargai apa pun lagi," paparnya. Selain itu, pejabat tersebut mengatakan bahwa juga ada seorang pejabat pemerintah di Yangon yang ditahan karena demonstrasi tersebut.

Dari Yangon dilaporkan, masih terjadi penangkapan dan penyerangan kemarin. Hal tersebut terjadi di Kuil Maggin, kawasan Thingangyun. Menurut sumber di kelompok pembela tahanan politik (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP ) di Yangon, penyerangan tersebut berlangsung pada pukul 21.00 hingga tengah malam. "Itu serangan keempat terhadap kuil tersebut selama beberapa waktu terakhir," kata Joint Secretary AAPP Bo Kyi. Sekitar empat biksu kembali ditahan.

Tentara SPDC (State and Peace Development Council, demikian junta menamakan dirinya, Red) juga mengambil sejumlah dokumen yang tidak diketahui isinya dan sejumlah kecil uang donasi untuk kuil. Kuil Maggin merupakan kuil yang juga menyediakan perawatan untuk pasien HIV/AIDS.

"Yang memprihatinkan, dalam penyerangan pertama 26 September lalu, seluruh pasiennya (sekitar 15 orang) dipindahkan ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi Wai Bar Gi di kawasan Okkalapa Utara. Kami khawatir kalau tidak ditangani dengan benar, kondisi mereka menjadi lebih parah," kata Bo Kyi.

Pagi sebelum penyerangan Senin malam lalu, junta melepaskan sejumlah orang yang ditangkap pada penyerangan pertama pada 26 September. Mereka yang dibebaskan adalah U Kayu, sesepuh kuil tersebut yang berusia 84 tahun, beserta dua muridnya, Sayardaw U Indaka dan U Nandiya. Dua orang sipil lain juga dibebaskan, yakni Aung Zaw Win dan seorang yang tidak diketahui identitasnya.

Sebelumnya, mereka ditahan di Institut Teknik Pemerintah di Insein. Menariknya, Bo Kyi mengatakan bahwa tentara juga merampas uang donasi kuil sebesar 360 ribu kyats (sekitar Rp 2.394.000, satu kyats setara dengan Rp 6,6). "Selain itu, mereka (tentara, Red) tampaknya juga mencari bukti-bukti fisik yang dapat dipergunakan untuk menjerat para biksu tersebut," imbuhnya. Sekarang, Kuil Maggin hanya ditinggali oleh dua biksu, sembilan biksu pemula, dan seorang pengurus rumah tangga.

Di bagian lain, kemarin junta militer juga menangkap tiga orang pentolan ABFSU (All Burmese Federation of Students’ Union), sebuah organisasi perlawanan mahasiswa yang cukup berpengaruh di Yangon. Ketiga pentolan yang ditangkap tersebut adalah Ko Kyaw Ko Ko, Ko Sithu Maung (mempunyai nama alias Yar Pyit) dan Ma Han Ni Oo. Mereka ditangkap sekitar pukul 3dini hari kemarin.

Mereka ditangkap di sebuah rumah persembunyian di pinggiran Kota Yangon. "Saat itu, ada sekitar 15 orang anggota ABFSU yang bersembunyi. Kemudian, tiba-tiba satu truk tentara dan dua mobil polisi mendatangi rumah tersebut," papar Bo Kyi.

Dia juga melansir penangkapan lain di Yangon. Sekitar sepuluh pemuda yang tinggal di Pabedan, Yangon, ditangkap polisi Minggu (7/10) malam lalu. "Tanpa alasan yang jelas, polisi langsung saja menangkap dan menuduh mereka semua terlibat demonstrasi damai 27 September lalu," paparnya.

Sementara itu, pembahasan krisis Myanmar di sidang Dewan Keamanan (DK) PBB masih jalan di tempat. Tiongkok, salah satu anggota tetap DK PBB, meminta perhalusan bahasa dalam teks pernyataan kecaman yang dikeluarkan DK PBB atas kekerasan berdarah di Myanmar kemarin.

Draf pernyataan kecaman terhadap kekerasan junta militer Myanmar itu disusun oleh AS, Inggris, dan Prancis setelah DK PBB mendengar laporan Utusan PBB untuk Myanmar Ibrahim Gambari Jumat (5/10). Kemudian, pada Senin (8/10), pakar-pakar dari 15 anggota tetap dan tidak tetap di DK membahasnya guna mencapai konsensus soal bahasa pernyataan.

Draf awal menyatakan mengecam "represi keras terhadap demonstrasi damai" dan mendesak penguasa Myanmar untuk "menghentikan tindakan represifnya" serta membebaskan seluruh tahanan politik, termasuk tokoh oposisi Aung San Suu Kyi.

Tiongkok yang didukung sejumlah anggota DK meminta penggantian kata "mengecam" dengan "sangat menyesalkan". Tiongkok juga menolak formulasi rinci mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan rezim Myanmar untuk mengatasi krisis itu. (afp/ap/*)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 10 Okt 2007

selengkapnya...